MUHARRAM MARYAM
Muharam awal tahun, Pagi itu cuaca cukup
cerah dengan hembusan angin yang tidak seberapa, uwais masih termenung di kursi
kerjanya dikampus, dengan segenap tugas yang belum terselesaikan uwais sangat
tertekan dengan jadwal perkuliahan yang sangat padat, matanya yang bengkak
dengan garis hitam melingkar menandakan dia belum tidur sedikitpun semalaman
karena ada sampel yang harus diambil dan waktunya hanya ada dimalam hari
sehingga membuat uwais harus mengeluarkan tenaga ekstra, dengan segenap
kejenuhan dan kebosanan uwais masih tak bergeming dari tempat duduknya semula.
Uwais berencana berontak
dengan semuanya yang dihadapinya, dia tidak mau lagi berurusan dengan hal-hal
yang membuatnya selalu tertekan, rasanya semua yang dilakukannya tidak akan
membuat uwais akan berbahagia, tapi waktu berkata lain uwais masih duduk dengan
wajah tertunduk lesu dan kehampaan yang dia rasakan, dia merasa tidak ada gunanya lagi melanjutkan
kuliah, uang habis, waktu dan kesehatan tersita dan tidak ada yang dia dapatkan
selain kebosanan.
Jam dinding yang menemani
uwais diruangannya terus berdetak kencang, semakin berpacu dengan lamunan uwais
yang semakin menjadi-jadi, jam dinding menunjukan pukul 12.00 wib, uwais belum
juga beranjak dari lamunannya, dan tanpa sadar uwais mendengar suara yang
sangat lembut dan enak didengar oleh telinga, Uwais masih merasa dia didalam
lamunannya tapi seketika lamunannya buyar didepannya ada dua orang mahasiswi
menyapanya, “bang ma’af menganggu, kalau tidak salah nama abang uwais kan ?,
boleh kami konsultasi bang, Profesor menyuruh kami konsultasi dengan abang
menyangkut persiapan paper nasional besok bang ?”. Uwais masih terpana dengan
waktu, sambil merapikan rambutnya yang berantakan ia hanya bisa tersenyum
sambil berkata boleh.
Peristiwa
itu terjadi secara tidak sengaja, Uwais muda terdaftar sebagai salah seorang
konsultan profesor untuk menyeleksi paper yang akan diterbitkan secara
nasional, memang setiap tahunnya Universitas yang ditempati uwais selalu
mengirimkan paper terbaik untuk diterbitkan secara nasional bersaing dengan
Universitas lainnya.
Pagi
itu Uwais melihat pemberitahuan yang keluar dari mading elektronik kampus,
informasi ini penting bagi uwais karena informasi ini berhubungan dengan anak
bimbingan yang menjadi tanggung jawab uwais dalam mempersiapkan paper nasional,
setelah memeperhatikan dengan seksama dan berulang-ulang hati Uwais merasa tak
percaya bahwa nama itu yang tertulis disana, Maryam Azzahra nama itu serasa
membuat jantung uwais berhenti berdetak sembari melihat kesekitar serasa masih
tak percaya uwais pun melangkah menjauh dengan senyuman di hati, uwais tak
sadar ada sesuatu yang mulai hangat dihatinya dia merasakan kembali satu hal
yang selama ini tak pernah dirsakannya.
Sore
menjelang malam, lampu jalanan kota mulai berpijar dengan sedikit rintik hujan
membasahi dedaunan pohon taman, uwais bergegas untuk pulang berjalan kaki dari
kampus ke apartement terdekatnya, jalanan sedikit basah dengan sinar lampu
jalanan yang memantul ke wajah uwais, Bunyi nada email dari smartphone uwais
serasa membangunkan alam, senja itu Uwais membaca sebuah email yang belum
pernah diterimanya sebelumnya, “Asslamualaikum bang uwais ini maryam, maryam
mau konsultasi paper nasional bang, bang uwais ada waktu tidak untuk
konsultasi, besok maryam mau bertemu profesor juga “? uwais lama terpana dengan
email yang dibacanya, seiring memalingkan pandangannya ke langit senja itu,
hanya bunyi gemericik sisa-sisa hujan yang tersisa, seakan tak percaya orang
yang selama ini didambanya mengirimkan email kepadanya dan isinyapun untuk
segera bertemu dengannya.
Uwais
tidak kuasa untuk membalasnya, hanya perasaan campur aduk dikepalanya, bertemu
dengannya ? bahkan untuk menatapnya dari jauh saja uwais selama ini tidak sanggup,
uwais berada pada dua sisi yang harus ditempuhnya, uwais memang harus bersikap
profesional dengan karirnya sebagai konsultan profesor, tapi perasaan uwais
yang terlanjur mekar membuatnya lupa akan hal yang sepatutnya tidak
dilakukannya.
Sedikit langkah demi
langkah, uwais mulai mendekati apartementnya, bangunan kokoh delapan belas
lantai ini menjadi saksi perjuangan uwais untuk melanjutkan kehidupan, banyak
cerita yang telah uwais lalui bersama sibeton besar ini, memang walau dia hanya
diam membisu tapi di hati uwais dia selalu berharga karena dengannya uwais
selalu merasa selalu bahagia.
Uwais mulai menelusuri
lorong pintu bangunan delapan belas lantai ini, ada dua tangga yang harus
dilewati uwais, memang dipojok pintu ada sebuah lift tapi cepatnya waktu
berlalu membuatnya tak kuasa untuk bekerja sepenjang waktu, mungkin hari ini
sudah saatnya dia untuk menikmati masa tuanya dengan label pensiun.
Uwais masih memikirkan
email yang diterimanya ditaman kota, belum ada niatan dari uwais untuk membalas
email tersebut, entah apa yang menghalangi uwais untuk membalasnya tapi
seketika saja tangan uwais menjadi kaku ketika harus memberikan jawaban dari
pertanyaan yang sangat sederhana, permasalahannya bukan terletak pada
pertanyaannya tapi pada seseorang dibalik itu, uwais hanya diam menatap jauh
keluar jendela.
“Kenapa harus dia, kenapa harus orang yang
bahkan untuk melihatnya dari kejauhan saja aku tak sanggup”, hal ini selalu
membayang difikiran uwais yang semakin hari semakin membuatnya bingung. Malam semakin
larut uwais kembali kepada rutinitasnya menyelesaikan terbitan jurnal nasional
yang akan di publish besok pagi, dengan lampu penerangan seadanya karena malam
ini ada pemadaman listrik, membuat uwais harus bekerja dengan ekstra hati-hati,
jangan sampai jurnal yang akan diterbitkan besok menjadi tidak maksimal.
Uwais melihat daya laptopnya masih empat puluh
persen, ini rasanya cukup untuk terbitan satu jurnal untuk esok hari. Sesekali
uwais memalingkan wajahnya keluar jendela meski gelap yang terlihat tapi,
sepertinya gelapnya malam tak mengalahkan hati uwais yang semakin mekar sejak
kejadian tadi senja, hati yang membuat uwais semakin bingung dan tak tau harus
berbuat apa dan bagaimana.
Malam semakin larut,
hanya suara angin yang masih terdengar oleh uwais sesekali masih melintas mobil
van putih lengkap dengan sirine kemilaunya, uwais masih belum menyelasikan
jurnalnya, sepertinya kejadian tadi senja membuatnya hilang fokus dan
efektifitasnya kerjanya seakan menurun.
Ketika hening mulai
menyapa, dan uwais masih belum bisa menyelesaikan jurnalnya, dan ternyata
memang tidak bisa diselesaikan akhirnya uwaispun menyerah ada apa ini...,
kenapa dengan diri uwais, “aku sepertinya bukan seperti biasanya”. Uwais hanya
bisa bertanya-tanya di dalam hatinya.
Adzan shubuh membangunkan
tidur uwais, dengan cahaya laptop yang masih berkedip-kedip dan charger
otomatis yang di pasangkan uwais, membuat uwais tersadar ternyata dia ketiduran
diatas meja kerjanya dengan lampu penerangan yang masih menyala, uwais melihat
keluar jendela lampu jalanan masih seperti biasanya, terang menyilaukan dan
membekas cahaya di pelupuk mata uwais.
Dengan langkah gontai
uwais membuka pintu keluar apartement, angin shubuh membuat uwais mendekapkan
tangannya, memang sekarang adalah musim gugur udara dingin seakan menembus
tulang jemari uwais, tapi hal ini tak menyurutkan langkahnya untuk tatap
melangkah ke halaman masjid kota.
“Bang uwais”, suara dari
balik tembok masjid mengejutkan uwais ketika akan melangkahkan kaki pulang ke
apartement setelah menunaikan sholat shubuh, “bang uwais tinggal didekat sini
?”. Uwais masih belum sepenuhnya sadar dengan suara yang didengarnya, “ma’af
siapa ya “, tanya uwais seolah tak mengenali wanita itu. “Ini saya bang...”?,
“abang ingat mukena ini, coba lihat baik-baik bang...”. Uwais seolah tersadar
dari lamunannya, uwais ingat mukena yang dikenakan wanita itu, tapi tak ingat
sedikitpun wanita yang sedang berbicara didepannya.
“Ma’af bang kalau bang
uwais masih belum ingat, yang jelas saya sangat senang bisa bertemu abang
disini, saya juga tinggal didekat sini bang, memang saya tau susah bagi abang
untuk mengingat saya, setelah kejadian itu”. Wanita itupun berlalu dengan
kepala tertunduk dan sedikit terisak, uwais masih berdiri terpaku melihat
wanita yang mengenakan mukena yang sangat dikenalinya pergi.
Uwais ingat mukena itu
adalah hadiah ulang tahun yang dibelikannya untuk adik perempuan satu-satunya,
ketika malam pulang dari berbelanja uwais yang menyetir mobil sambil bercanda
dengan adik semata wayangnya harus mengalami benturan keras dari sebuah truk
pos, yang hilang kendali karena menghindari sebuah van putih bersirine. Uwais
tidak bisa mengingat sepenuhnya akan kejadian itu, bahkan untuk mengingat wajah
adik semata wayangnya uwais harus dibantu dengan foto yang selalu terpajang
didompetnya, walau sudah berkali-kali untuk mengingat wajah yang ada didalam
foto tersebut uwais masih merasa tidak pernah mengenal wajah yang ada di dalam
foto tersebut.
Jalanan sudah semakin
ramai, lalu lalang para penuntut ilmu seakan berlomba dengan waktu menyusuri
jalan menuju Universitas yang terletak ditengah peradaban kota, uwais kali ini
menaiki sepeda tuanya untuk kembali ke kampus, udara pagi masih dirasakan uwais
seakan membuat uwais terbang melintasi pepohonan disekitaran taman kota.
“Halo pak”, uwais
melemparkan senyuman kepada penjaga gerbang kampus, sudah lama sekali uwais
mengenal bapak ini rasanya. Bapak yang selalu tersenyum baik kepada semua
mahasiswa yang ada atau juga kepada jajaran para petinggi kampus, bapak itu
bernama Fateh, Abdullah Fateh nama lengkapnya.
Uwais ingat ketika tengah
malam sewaktu uwais terjebak dengan lebatnya hujan badai yang menerjang kampus,
uwais yang kedinginan terpaksa memutuskan untuk menginap di ruangan kerjanya
sendirian, karena untuk berjalan kaki di tengah malam dengan hujan badai dan
udara enam belas derjat celcius, sangat
tidak memungkinkan, pak Fateh dengan sigapnya segera menghampiri uwais
yang kedinginan, karena diruangan itu cuman ada meja dan perkakas lainnya.
Bahkan pak fateh harus
meminjam mobil tetangganya yang bekerja di perusahan listrik untuk menjemput
uwais, entah siapa yang memberitahukan kepada pak fateh tentang hal yang
dialami uwais, uwais malam itu terselamatkan untuk sampai di apartementnya
dengan selamat.
Rhamadan pertengahan
tahun, Muhammad Uwais Al Fatih itulah namanya, pemuda inspirasiku yang menjadi
teladanku selama hidupnya, beliau sekarang telah tiada beliau mengehembuskan
nafas terakhirnya waktu itu dirumah sakit kota, padahal tiada yang menyangka
dan mengira beliau akan pergi secepat itu, tanpa ada sakit sedikitpun dan tanpa
ada pertanda.
Hari ini aku kembali
bercerita tentang dia kepada maryam, yang seolah tak kuasa menahan tangis
karena mengingat sosok sang teladan uwais, aku tau maryam juga mempunyai rasa
yang sama kepada uwais, aku tau semuanya setelah maryam mencurahkan semua
perasaannya ketika uwais terbaring kaku dirumah sakit. Entah bagaimana yang
dirasakan maryam, aku tak mengira sahabat sejatiku, tempat aku berkeluh kesah
selama ini, dengan cepatnya berpulang kepangkuanNYA.
Suatu sore ketika aku dan
uwais akan memberikan suatu materi pelajaran kepada para mahasiswa, kami berdua
berboncengan dengan satu sepeda motor, hembusan angin sore membuat uwais sepertinya ingin bercerita
panjang lebar denganku, dia memulai pembicaraan dengan bertanya “kalau
menurutmu, kalau kita menyukai seseorang boleh tidak” ?, pertanyaan ini
membuatku sedikit tertegun, ini baru pertama kalinya beliau menanyakan hal
seperti ini. “saya ga bisa jawab mas, kayaknya boleh-boleh aja... memangnya
kenapa mas “? balasku kembali bertanya. Uwais hanya terdiam sebentar dan
kembali bercerita, kali ini dia menceritakan perihal maryam, yang entah mengapa
selalu muncul didalam fikirannya, entah karena maryam merupakan sosok wanita
yang selama ini diidam-idamkannya aku juga tidak tahu yang jelas, aku baru
mengetahui kalaulah ternyata beliau telah menaruh hati pada seseorang dan orang
tersebut adalah maryam.
Memang maryam merupakan
wanita idaman banyak pria, wanita sholeha, cantik, pintar, selalu terdepan
dalam hal akademik dikelas, bahkan ketika mengikuti oliempiade biasanya aku
sudah menyerah duluan karena sainganku untuk diutus keluar kampus adalah
maryam. Maryam adalah teman satu angkatan denganku untuk studi magister, meski
sholeha tapi dalam hal pergaulan maryam tidak kaku dan sedikit longgar, bahkan
maryam tidak canggung untuk sekedar menyapa duluan ketika aku sedang bingung
dikelas dengan tugas, paper dan hal lainnya. Aku selalu berprasangka baik,
mungkin ini caranya agar bisa mengajak orang untuk bisa berada pada jalan
kebaikan.
Rajab tahun lalu, Pada
suatu masjid setelah melaksanakan sholat ashar, uwais kembali bercerita
kepadaku bahwa adik perempuannya hari ini ulang tahun, dan hari ini juga dia
ingin mengajak adiknya untuk berbelanja hadiah ualng tahun, dan hadiah utamanya
adalah mukena, mesin mobil uwais mulai menyala dan sambil menunggu adik
perempuannya keluar dari rumah, “udah siap dek “?, tanya uwais kepada adeknya
yang sudah berada didalam mobil. “Insya Allah siap bang uwais, hati-hati ya
bang nyetir mobilnya”. Uwaispun mengangguk sambil melaju dengan mobil mininya,
uwais sangat bahagia hari ini karena ini kali pertamanya uwais bisa mengajak
jalan-jalan adeknya dengan mobil, walaupun untuk kekampus uwais sering berjalan
kaki karena apartement tempat uwais tinggal lumayan dekat, dan mobil selalu
dipinjamkan untuk sepupu uwais yang serumah dengan adik perempuannya.
Ketika berada di pusat
perbelanjaan di jantung kota, uwais mulai membeli semua yang disukai adeknya
termasuk mukena abu-abu yang menjadi kado utama pemberian uwais, uwais sangat
berharap kalau adeknya selalu memakai mukena itu untuk setiap sholatnya.
Tapi takdir medahului
harapan uwais, sebelum menemui sholat pertamanya setelah mendapat mukena baru,
mobil uwais terlibat kecelakan dengan sebuah truk pos berwarna orange, mobil
uwais terbalik dan tak sanggup menahan benturan yang sangat keras dari truk
yang berlapiskan baja, mobil uwais remuk seremuk hatinya yang hancur berderai
ketika menyaksikan adik semata wayangnya harus bersimbahkan darah mendekap kado
pemberiannya, uwais tak mampu berkata-kata, pandangan uwais gelap segelap
harapannya yang telah sirna.
Kemilau cahaya lampu
langit-langit rumah sakit mulai menyinari mata uwais, uwais tersadar dari tidur
panjangnya, samar-samar uwais mencoba melihat tapi hanya bayangan samar-samar
yang dilihatnya, dalam hati uwais hanya ada bayangan adiknya, uwais kembali
menggigau dan menyebut nyebut nama adiknya tersebut, “mas, jangan bicara
dulu... mas harus istirahat”, sebuah suara terdengar ditelinga uwais dan
uwaispun kembali koma.
Aku ingat ketika saat
itu, ketika uwais terbaring koma cukup lama seakan akan uwais tidak akan pernah
bangun untuk selamanya, tapi kehendak sang pencipta uwais akhirnya tersadar
dari komanya, dan hal pertama yang disebutnya adalah kembali nama adiknya.
Uwais mulai membuka mata,
seakan uwais tidak sadar apa yang sedang terjadi pada dirinya, uwais sekarang
hanya diam seribu bahasa, tak ada lagi nama itu, tak ada lagi nama yang selalu
disebut-sebutnya ketika sedang mengalami koma, uwais mencoba untuk bangun, tapi
tidak bisa tubuhnya belum sanggup untuk menopang keinginannya, maryam yang
ketika itu berada disamping uwais, maryamlah yang saat itu pertama kali
dilihatnya, dengan sedikit tergesa-gesa maryam berlari mencari dokter untuk
memberitahu kalu uwais telah sadarkan diri, dalam hati uwais timbul sejuta
pertanyaan, apa yang terjadi pada dirinya dan siapa wanita yang berada
disampingnya.
Maryam nampak cemas dan
sedikit lega setelah dokter memberitahukan bahwa uwais kondisinya sudah mulai
membaik, maryam tau kalaulah bukan dirinya yang berada pada saat uwais tersadar
tentu lain halnya.
Maryam Azzahra itulah
nama lengkapnya aku kenal beliau dari Syifa Al Fatih, Syifa merupakan teman
sekelasku dulu sewaktu berjuang untuk meraih gelar sarjana, syifa dan
keluarganya sudah kuanggap seperti keluarga sendiri termasuk abangnya uwais,
hampir setiap waktu aku menghabiskan waktu dengan abangnya syifa setelah
ternyata beliau menjadi seniorku sewaktu mengambil magister disalah satu
Universitas terkemuka di negara ini.
Maryam ternyata teman
syifa semasa kecil di pelataran kota, tapi maryam harus pindah ketempat lain
untuk mengikuti orangtuanya yang pindah kerja, hal ini yang mungkin membuat uwais
tidak pernah mengenal maryam, karena uwais dulu tidak tinggal dengan keluarga,
uwais telah terbiasa untuk madiri sejak lama.